Arsip | Qiyadah RSS feed for this section

Naluri Kepahlawanan

19 Nov
Oleh: Anis Matta

Pekerjaan-pekerjaan besar dalam sejarah hanya dapat diselesaikan oleh mereka yang mempunyai naluri kepahlawanan. Tantangan-tantangan besar dalam sejarah hanya dapat dijawab oleh mereka yang mempunyai naluri kepahlawanan. Itulah sebabnya kita menyebut para pahlawan itu orang-orang besar.

Itu pula sebabnya mengapa kita dengan sukarela menyimpan dan memelihara rasa kagum kepada para pahlawan. Manusia berhutang budi kepada para pahlawan mereka. Dan kekaguman itu adalah sebagian dari cara mereka membalas utang budi.

Mungkin karena itu pula para pahlawan selalu muncul di saat-saat yang sulit, atau sengaja dilahirkan di tengah situasi yang sulit. Mereka datang untuk membawa beban yang tak dipikul oleh manusia-manusia di zamannya. Mereka bukan kiriman gratis dari langit. Tapi sejarah kepahlawanan mulai dicatat ketika naluri kepahlawanan mereka merespon tantangan-tantangan kehidupan yang berat. Ada tantangan dan ada jawaban. Dan hasil dari respon itu adalah lahirnya pekerjaan-pekerjaan besar.

Tantangan adalah stimulan kehidupan yang disediakan Allah untuk merangsang munculnya naluri kepahlawanan dalam diri manusia. Orang-orang yang tidak mempunyai naluri ini akan melihat tantangan sebagai beban berat, maka mereka menghindarinya dan dengan sukarela menerima posisi kehidupan yang tidak terhormat. Tapi orang-orang yang mempunyai naluri kepahlawanan akan mengatakan kepada tantangan-tantangan kehidupan itu: Ini untukku! Atau seperti ungkapan orang-orang shadiq dalam perang Khandaq yang diceritakan Al-Qur’an: Ketika orang-orang beriman itu melihat musuh-musuh (yang saling bersekutu menghadapi orang-orang beriman), mereka mengatakan: Inilah yang (dulu) dijanjikan Allah dan Rasul-Nya, dan Allah dan Rasul-Nya telah jujur (dalam janjinya), dan itu tiada menambah mereka kecuali keimanan dan kepasrahan. (QS. AI-Ahzab: 22).

Naluri kepahlawanan lahir dari rasa kagum yang dalam kepada kepahlawanan itu sendiri. Dan itu akan menggoda ‘sang pengagum pahlawan’ untuk melihat dirinya sembari bertanya: Apa engkau dapat melakukan hal yang sama? Apabila ia merasa memiliki kesiapan-kesiapan dasar, maka ia akan menemukan dorongan yang kuat untuk mengeksplorasi segenap potensinya untuk tumbuh dan berkembang. Jadi, naluri kepahlawanan adalah kekuatan yang mendorong munculnya potensi-potensi tersembunyi dalam diri seseorang, kekuatan yang berada di balik pertumbuhan ajaib kepribadian seseorang.

Dalam serial jenius-jenius Islam, Abbas Mahmud Al-Aqqad menemukan kunci kepribadian Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam kata ‘kekaguman kepada kepahlawanan‘. Kunci kepribadian, kata Al-Aqqad, adalah perangkat lunak yang dapat menyingkap semua tabir kepribadian seseorang. Ia berfungsi seperti kunci yang dapat membuka pintu dan mengantar kita memasuki semua ruang dalam rumah itu. Dan kita hanya dapat memahami pekerjaan-pekerjaan besar yang telah diselesaikan Abu Bakar dalam kunci rahasia ini. Apakah Anda juga memiliki kunci rahasia itu? Saya tidak tahu.***

Ust Hilmi Aminuddin: Kita Wajib Berlapang Dada

19 Nov

Sebagai da’i kita harus punya keteguhan sikap dalam menghadapi berbagai cobaan dan tantangan yang ada karena itu adalah sunnatullah dalam perjalanan dakwah. Karakter da’i adalah Atsbatu mauqifan, paling teguh sikapnya. Tidak tergoda, tidak terprovokasi, tidak berhenti apalagi mundur.

Namun, ikhwan wa akhwat fillah, keteguhan sikap kadang-kadang menimbulkan eksklusivitas. Kadang-kadang –na’udzubillah- menimbulkan kesombongan. Kadang-kadang menimbulkan kekakuan dalam komunikasi. Oleh karena itu, harus diimbangi dengan arhabu shadron, paling berlapang dada. Teguh sikap, tapi paling berlapang dada.

Berlapang dada terhadap kritikan. Berlapang dada, bahkan terhadap aneka ragam cemoohan. Aneka ragam fitnah, kita berlapang dada. Bahkan kita jadikan semua itu bahan-bahan untuk instropeksi, untuk mawas diri, untuk memperbaiki. Kita sebagai pribadi dan kita sebagai jama’ah, kita perbaiki semua. Jadi insyaAllah semua itu kita terima dalam konteks bahan-bahan untuk instropeksi, untuk memperbaiki diri.

Kita berlapang dada. Kita tidak marah, apalagi ngamuk-ngamuk. Walaupun kalimat amuk itu spesifik melayu, sampai jadi bahasa Inggris. Artinya itu spesifik karakter melayu, melakukan sesuatu tanpa perhitungan, gelap mata. Tapi insyaAllah dengan manhaj kita, kita sudah melepaskan diri sikap-sikap amuk melayu itu. Nggak ada pada kita. Nggak ada sikap-sikap amuk itu. Kita dengan tenang menghadapi cemoohan, menghadapi caci maki. Menghadapi ancaman-ancaman, kita tenang aja.

Karena kita arhabu shadron. Sehingga komunikasi kita dengan orang, termasuk dengan yang mencaci-maki pun tidak patah arang. Setiap saat kita tetap bisa menyambung silaturrahim. Setiap saat kemungkinan ta’awun. Setiap saat terbuka kerjasama. Nggak ada kita mutung-mutungan. Nggak ada.

Ini sikap dari kader kita harus begitu. Atsbatu mauqifan, tetapi arhabu shadron. Paling teguh sikapnya, tapi luar biasa lapang dadanya. Dan ini karunia Allah swt.

Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah..

Rasulullah saw. qudwah kita, yang sudah berarti ujiannya jauh lebih besar dari ujian kepada kita. Disebutkan asaddu bala’an itu al anbiya’, yang paling berat ujiannya itu para nabi. Rasulullah saw. ketika datang ujian, di saat-saat fatrah makkiyah, beberapa tahun sebelum hijrah, dua tahun – tiga tahun sebelum hijrah, istri beliau Khadijah ra. meninggal dunia. Padahal dengan wibawanya sebagai bangsawan Quraish, denang hartanya sebagai aghniya’ Quraish, itu mem-back up dakwah Rasulullah saw.

Abu Thalib –pamannya- yang mem-back up melindungi keponakannya juga meninggal dunia dalam waktu yang tidak berjauhan. Di saat itu intimidasi Quraish meningkat, ancaman-ancaman meningkat, karena dua pelindung besar ba’da Allah sudah tidak ada. Sudah tentu sebagai manusia, Rasulullah merasakan himpitan itu, tekanan itu, intimidasi itu semakin terasa. Tapi kemudian Allah menurunkan dua surat (Adh-Dhuha & Al Insyirah), menghibur Rasulullah saw.

Kata Allah swt. dalam surat Ad Dhuha, “Waddhuha, wallaili idza saja..” Allah bersumpah terhadap waktu dhuha dan waktu malam. Kata Allah, “Maa wadda’aka Rabbuka wa maa qola..” Tidak sekali-kali Allah meninggalkanmu dan tidak juga marah kepadamu.

Ini kita sebagai waratsatul anbiya’ wal mursalin, ketika ada himpitan-himpitan, kembali kepada waddhuha itu. Allah memang dari waktu ke waktu menguji kita, selagi kita istiqomah ala thoriqid da’wah, insyaAllah, Allah tidak meninggalkan kita. Maa wadda’aka wa maa qola, dan tidak juga marah.

Itu Allah lagi menggembleng kita. Yang kadang-kadang supaya hasil gemblengannya hakiki, instrukturnya itu memang lawan bener gitu. Jadi bukan artifisial, bukan. Bukan dibuat-buat. Memang orang yang berniat jahat banget sama kita yang jadi instruktur. Agar hasilnya hakiki. Tembakannya bener-bener diarahkan. Supaya hasilnya hakiki, dalam pelatihan itu. Itu sunnatullah begitu.

Kalau dalam latihan yang dibuat, yang artifisial, hasilnya tidak hakiki. Jadi sekali lagi, ingat kepada waddhuha wallaili idza saja. Kata Allah, maa wadda’aka Rabbuka wa maa qola. Bahkan Allah membangunkan optimisme kita, walal akhiratu khairu laka minal ula. Masa depan kalian lebih baik dari masa lalu kalian. Yakini itu.

Untuk menyongsong masa depan yang lebih baik, baik dunia atau akhirat kita, ya kita perlu digembleng. Walal akhiratu khairu laka minal ula. Dan, wala saufa yu’thika, Allah akan selalu memberi dan memberi, memfasilitasi dan memfasilitasi, jika kita tetap berjalan dalam thariqul istiqomah. Wala saufa yu’thika Rabbuka fatardho. Dan kamu ridho, puas, qona’ah, akan perjalanan yang benar ini.

Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah..

Dalam situasi yang seperti yang saya gambarkan dalam sejarah Rasulullah, kemudian diikuti dengan surat al Insyirah. Alam nasyrah laka shadrok, kata Allah. Bukankah telah kami lapangkan dada kalian. Yang tadi saya katakan arhabu shadron, itu karena Allah melapangkan dada kita.

Alam nasyrah laka shadrok, wawadho’na ‘anka wizrok. Dan Kami letakkan beban yang ada di punggung kalian. Alladzi anqodzo dhohrok. Warafa’na laka dzikrok. Kemuliaan kalian ditingkatkan.

Fa inna ma’al ‘usri yusro, inna ma’al ‘usri yusro, kata Allah dalam menghidupi situasi seperti ini,. Luar biasa. Allah untuk memberikan kemudahan melalui kesulitan. Dalam kesulitan itulah terkandung kemudahan. Diingatkan sampai dua kali. Untuk menemukan kemudahan dalam kesulitan. Untuk menemukan kenikmatan dalam ancaman. Ya, kita harus terus aktif.

Fa idza faraghta fanshob. Jangan berhenti bekerja. Artinya, kita para pekerja dakwah. Yang tidak berhenti oleh situasi apapun, oleh ancaman apapun.

Fa idza faraghta fanshob. Dan motivasi kita, tujuan kita jelas. Wa ila Rabbika farghob. Situasi yang menghimpit Rasulullah, situasi yang menekan Rasulullah itu, dijawab oleh Allah dengan dua surat yang sangat menghibur Rasulullah saw. InsyaAllah, dua surat itu harus menjadi bekalan kita dalam segala situasi sehingga kita bisa terus bekerja untuk kemaslahatan bangsa.

Negeri tercinta ini adalah anugerah Allah kepada kita. Apalagi tanah air kita, yang indah permai, mengandung banyak resouces. Yang bangsa-bangsa lain ngiri, ingin ikut menikmatinya. Bahkan kadang-kadang berkonspirasi untuk merebutnya, atau memanfaatkannya, tanpa melihat hak-hak dari pemilik sah dari bumi pertiwi Indonesia ini. Tanggungjawab nasional ini harus tampil, dalam kehadiran kita, dalam program kita, agenda kita, sepak terjang perjuangan kita. Harus tampil.

Kita adalah pengawal di garis terdepan bagi kepentingan-kepentingan bersama secara nasional. Kita tidak ingin merusak negara ini, karena ini adalah negara karunia Allah.